Kita adalah “The Shallow”, ucap Nicholas Carr. Jelas kita tak ubahnya manusia-manusia yang hanya menyantap, mengkonsumsi dan mencerna semua informasi, entah berita konvensional maupun berita daring secara mentah, atau hemat kata “dangkal”. Fenomena ini pasti terjadi tak hanya bagi para pemuja tekun teknologi. Bagi sebagian orang, nyatanya kita sedang mengalami wabah “The Shallow Effect” ini.
Ketidakcakapan kita dalam mengkestraksi atau membaca lebih detail terjadi bukan “hanya” karena efek dominasi “enjoyment” (kesenangan) yang tumpah ruah terjejali di sosial media. Namun, juga berasal dari olah skeptis-kritis yang mungkin kalut untuk kita pahami lebih dalam. Kenyataannya, generasi Z yang lahir, tumbuh dan dikebumi teknologi bukan malah adaptif dan bisa sedemikian terampil memanfaatkannya. Malah yang sering terjadi, kita dibutakan dan dininabobokkan olehnya. Efek langsungnya, kita sering mendapat “over-information”, miskomunikasi, hoax atau bahkan kampanye hitam. Secara mental, ini sangat bisa merusak dan membuat anxiety (kecemasan).
Dari kenyataan ini, kita sebagai kader PMII diinsyafkan untuk lebih “sadar” dan cakap menganalisis media. Bukankah sedari awal PKD hingga PKL hidangan materi analisis wacana atau media telah tumpah ruah kita konsumsi? Yang demikian ini perlu kita kaji lebih intens. Faktanya, materi tersebut bukan hanya soal bagaimana cara kita “skeptis” terhadap media yang telah dinikahkan dengan kepentingan negara atau korporasi, melainkan juga harus menyadari bahwa PMII berkewajiban memiliki media independen yang bisa dijadikan instrumen ideologisasi yang masif-doktriner bagi dirinya sendiri.
Ada satu rujukan menarik soal bagaimana cara kerja media, buku ini ditulis oleh seorang Amerika yang sangt anti-Amerika, ia bernama Noam Chomsky. Ada tips-tips menarik dalam pola propaganda media yang ia tuliskan dalam buku “Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda”.
Chomsky mengatakan “And it taught a lesson: State propaganda, when supported by the educated classes and when no deviation is permitted from it, can have a big effect”. Peran intelektual atau cendekiawan dalam operasional media sangat berpengruh, tanpa adanya asah-asuh dari kelas sosial ini, media tak akan bisa berjalan maksimal. Kita tau, sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia tak terlepaskan dari pengaruh para jurnalis dan toekang toelis. Kita kenal Tirto Adhi Soerjo, Mahbub Djunaidi, dan para pendekar pena lainnya. Mereka lahir dari kelas “terdidik”, jika mereka diberikan posisi sentral yang tepat untuk mengelola media. Dipastikan efek ideologisnya bisa terdiaspora secara masal.
Sama halnya, PMII jika memiliki ruang media yang mapan, semisal LPP (Lembaga Pers Pergerakan), dengan regenerasi aktor yang jelas, akan ada kemandirian dalam penggiringan isu, kepentingan PMII sendiri. Sederhananya, akan tuntas soal advokasi media yang menjadi momok PMII dalam urusan dapur ini. Perhari ini, kita disibukkan dengan aksi taktis yang hanya berdampak bagi keuntungan media konvensional-arusutama. Tanpa menyadari perlu ada pembibitan internal yang strateginya guna mencapai “kemandirian media” kita sendiri. Padahal, jika PMII mandiri secara media, keuntungan yang lain bisa berwujud materil atau hal-hal terkait lain.
Selanjutnya, Chomsky juga dawuh bahwa jika media ini sudah tercipta “These are all signs of the civilizing effect, despite all the propaganda, despite all the efforts to control thought and manufacture consent.”, seruan ini berimbas pada keuntungan, bahwa sekalipun PMII sendiri yang mewartakan aksinya, mewartakan kebijakan atau programnya, dipastikan “propaganda” yang dibangun adalah guna kepentingan masyarakat, bukan gimmick atau eksistensi semata. Tujuan sederhana media adalah mencari “pembenaran”, pembenaran soal apapun, khususnya realiitas sosial akan sulit berkhotbah di samping telinga yang hidup dalam “menara gading” belaka. Maka dari itu, PMII sekarang ini harus terjun tak hanya berwujud demontrasi, melainkan juga mengarusutamakan aksi-aksi literasi dan aksi-aksi edukasi perihal informasi. Jejaring media yang luas akan berdampak pada akses-akses sosial yang semakin luas.
Karena dalam faktanya, yang paling ditakuti Chomsky “The media are a corporate monopoly”, nah jelas. Jika kita tidak lekas dan adaptif soal ini, kader-kader PMI hanya akan terbius logika pasar, watak konsumerisme atau pengkerdilan negatif yang disuntikkan oleh negara atau korporasi di belakangnya. Niat baik ini harus segera terealisasi sebaik mungkin. Selain itu, jika memang Chomsky terlalu jauh dan berat, Mahbub sebenarnya juga telah menginsyafkan kita sebagai kadernya, jauh-jauh tahun beliau dawuh “aku akan menulis dan akan terus menulis sampai tak mampu lagi untuk menulis”. Penataan nalar semacam wajib didahulukan dalam berPMII.
Kesadaran bermedia, menulis dan mengontrol propaganda menjadi Pekerjaan Rumah kita bersama sebagai kader PMII. Khususnya di Tulungagung, dengan mulai menjamurnya kanal-kanal media online sekelas Afederasi, Radar Tulungagung, TulungagungTimes, dan berbagai awak media lainnya, yang pantas kita jadikan rival, harus tetap menjaga kesalingan marwah untuk membersamai problem atau program yang ada di Tulungagung. Berbeda hal dengan mereka, PMII harus lebih intens membaca akar problemnya dari ikhwal yang lebih kritis dan bertujuan “murni” demi keuntungan rakyat. Semua ini tertera pada Citra Diri kita Ulul Albab.
Kowim Sabilillah
Gandrung, 18 Oktober 2022.