PMII TULUNGAGUNG NEWS – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Tulungagung menggelar diskusi public yang bertema “Memaknai Toleransi dan Beragama” yang diakan oleh Bidang Keagamaan, bertempat di Joglo Agung (07/09/2023).
Kegiatan tersebut turut mengundang pembicara yakni, Gus Varis M.Mirza yang mana merupakan Ketua Pondok Pesantren Al-Masruriyyah Tebuireng dan juga Alumni UGM. Kemudian, Pembicara keduanya adalah Gedong Maulana yang merupakan Dosen Universitas Bina Nusantara dan juga alumni Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Ketika memasuki acara Dialog Public Gus Mirza (panggilan akrabnya) memberikan sebuah pengingat kepada Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mengenai peran kaum muslimin di Nusantara terutama sosok Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari seorang tokoh pendiri NU. Gus Mirza juga membahas mengenai sosok beliau yang mana lebih dahulu dahulu mementingkan Golongan lain daripada Golongannya yakni NU kalau berbicara soal bernegara.
“Ketika resolusi Jihad diagungkan banyak sekali pengikutnya atau followersnya juga banyak kalau bahasa anak-anak di instagram. Tapi kalau followersnya sudah banyak, ketika Mbah Hasyim berbicara soal Jihad maka golongan apapun akan risepect dan ikut bergabung. Dalam hal ini pentingnya membahas pondasi yang kuat dan mengesampingkan tentang Golongan,” terangnya.
Selain itu, beliau juga membahas soal mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila teruatama soal sila pertama yakni, Ketuhanan Yang Maha Esa.“Seperti kita ketahui bahwa Pancasila merupakan perekat dan pemersatu Indonesia. Tentu kita ketahui ketika Sila Ketuhanan pertama itu di ubah kita menjadi sadar dan tahu bahwa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia tidak hanya Islam saja, ada Hindi, Budha, Kristen dan lain-lainya.” Jelasnya.
Kemudian, beliau juga mengemukakan bahwa pentingnya kebudayaan bangsa sebagai identitas nasional dalam berbangsa dan beragama. “Pentingnya menempatkan budaya kebangsaan sebagai identitas nasional. Bagaimanapun seperti yang dicontohkan oleh Gus Dur kalau jubbah itu seakan-akan menjadi pakian khas umat Islam karena itu pakian orang Arab, brarti batik menjadi sunnah bagi orang kita Nusantara karena itu adalah pakian adat kita,” ungkapnya.
“Perlu kita ketahui bersama bahwa Sokarno dalam bukunya berjudul “Bendera Revolusi” beliau mengatakan bahwa bangsa itu menurut pujangga adalah ada suatu nyawa, ada suatu akar-akar yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus menjalani satu wilayah, dan kedua rakyat itu harus mempunyai kemauan dan keinginan menjadi satu, maksudnya bukan berdasarkan jenis Ras, bukan berdasarkan jenis bahasa, dan bukan berdasarkan jenis Agama,” imbuhnya.
Sementara itu, pada materi ke dua disampaikan oleh Mas Gedong lebih fokus pembahasan mengenai apa sebenarnya Toleransi dan Intoleransi apalagi soal berbangsa dan beragama? Mengingat secara kebahasaan arti dari kata Toleransi adalah menghargai, sedangan Intoleransi adalah tidak menghargai. Apakah hanya sebatas itu? Dalam hal ini, Mas Gedong lebih menggodok pemikiran para Kader PMII Tulungagung melalui pertanyaan dan pernyataan fudalmental dan empiris. Seperti halnya ketika ia mengawali dengan berdialog bersama para sahabat-sahabati soal topic Toleransi.
“Saya ingin berangkat dari mengenai pandangan teman-teman itu soal toleransi itu menghargai, maka konsekuensinya Intoleran itu, tidak menghargai. Itu poin pertama” terangnya.“Kedua, soal berbangsa dan bernegara. Di Indonesia Islam menyerap terminologi ‘Alim dan ‘Ulama. Tapi secara kebahasaan ‘Alim itu apa? Orang yang berilmu. Dalam konteks orang berilmu itu, ada seorang ‘Alim dari Jepang yang menulis buku berjudul “The Importance Religions.” Mengapa religions pakai ‘S’? karena religious di maknai sebagai sesuatu yang pular, artinya bukan hanya satu, tetapi sebelum religions itu dimaknai sebagai Plural, awalnya ia dipahami sebagai tunggal,” imbuhnya. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa pada awal abad ke -17 itu religion tanpa (s). Sedangkan, pada waktu Islam tidak diakui sebagai Agama, cuman diakui sebagai komunitas yang mengikuti “Lakune hidupnya Muhammad” dan Di abad Religions tanpa (S) sangat identik langsung ke-Kristen.
“Lalu, ketika dalam konsep ini adalah permintaan tradisi yang menyebar ke berbagai daerah, kita pernah kebagian kolonialisme yang dijajah oleh Belanda, Protugis, Inggris, Jepang dan lain-lain. Dan kolonialisme pada waktu itu dibuatkan perspektif atau pandangan tentang agama yang dianggap hanya satu Kristen saja, sedangkan diluar Kristen tidak dianggap Agama. Jadi, dulu yang sering disebut Agama itu hanya Kristen teman-teman.
Teman-teman juga boleh cek dalam studi sejarah, studi Antropologis, politik dan seterusnya,” jelasnya “Dalam konteks negara Dunia Religious its Kristenity. Kedua pembahasan ini menarik karena mayoritas penduduknya adalah Islam, dan itu membawa Kosenkuensi. Kosenkuensi adalah ketika teman-teman cek religion awal riset to Kristen, maka agama dalam pandangan umum saat menyebut kata ‘Agama’ diotak manusia orang itu otomatis itu riset to Islam. Ketika menyebut Agama itu pasti mengasosiasikan soal Islam, itu point kedua menurut saya penting untuk melacak kembali bernegara dan beragama,” imbuhnya.
Ia juga mengemukakan bahwa Indonesia tidak mengatur Islam saja melainkan juga harus bisa menjaga Agama kepercayaan masyarakat adat, karena banyak sekali pasal di dalam Undang-undang Dasar kalau tidak salah Pasal 29 atau 9 yang menyebutkan bahwa setiap masyarakat Indonesia ini merdeka untuk memeluk Agama kepercayaan.“Di sini ada kata kepercayaan di sini. Tetapi dulu hanya ada di Pasal itu saja, di pasal lain gak ada, di Pasal-pasal lain pun saat menyebut Agama ia berdiri sendiri. Tetapi, kemudian ada sekelompok warga ini adalah banyak sekali penganut kepercayaan lokal di sini itu akan kemudian menggugat makamah konstitusi. Menurut mereka ada pasal di dalam undang-undang dasar tentang kependudukan yang diskriminatif. Mengapa diskriminatif? Karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan Sosial bagi seluruh Indonesia,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan terutama saat berbicara soal agama idealnya di kepala masyarakat kita ini bukan soal agama saja, atau disebut misalnya bukan Islam saja. Kalau menyebut Agama condong keenam Agama yang diakui, kalau diletakan bersama kepercayaan itu akan menghatam banyak sekali komunitas kepercayaan lokal. “Saya misalnya orang Islam, kalau misalnya tiba-tiba kita semua dan saya datang ke Gereja dan hancurkan semua itu merusak toleransi apa tidak? Merusak. Jadi, semua orang yang merusak tempat beribadah itu merupakan tidankan Intoleran. Semua orang menyebut tindakan seperti ini sebagai tindakan, Kapitalisme, dan Radikalisme,” jelasnya.
Perlu diketahui juga bahwa Indonesia bukan hanya Makhluk Bergama tapi juga masyarakat beradat dan kepercayaan. Masyarakat adat itu mempunyai pandangan visual bahwa hutan itu skaral. Mereka berkolerasi dengan nenek Moyangnya dan leluhurnya di pohon-pohon tertentu. Biasanya orang pedalaman dengan menyebutnya “Tanah Ulayat” “Lalu, ketika hutan mereka disebut Sakral sebagai pandangan spiritualisasinya, hutan adat itu menjadi tempat mereka beribadah tiba-tiba dihancurkan oleh korporatsi menjadi pertambangan dan perkembungan. Apakah ada yang menyebutnya ini sebagai praktik intoleran? Kalau misalnya orang Islam mengatakan masjid itu sacral, lalu merusak tempat itu disebut ekstrimisme, radikalisme dan merusak toleransi. Lalu bagaimana dengan orang-orang adat di hutan tersebut? Tidak ada yang pernah menyebutkan bahwa merusak hutan merupakan praktik ekstrimisme, radikalisme dan sikap Intoleran,” tandasnya.