….Ini kali tak ada gelak
...pada air-teratai hatiku berkata : Kita pancangkan saja cerita gemilang ini
...kita mulai dari sini-nanti di perbatasan mutiara kan ku genggam erat
...–dibalik kabut gelap pantai menunggu
...–Dan elang ini tinggalkan bekas, bentuk rupa hilang ke awan biru nyata
…..Kini kita bukan apa-apa Di malam hening-bulan hanya bisa memberi senyum Semua in jalan-semua ini jadi sasaran Kalau sampai batas waktunya, arus ini bisa hanyutkan segala…
Kenanglah aku…..
Puisi yang ditulis Mahbub Djunaidi di tahun 1950 ini sepertinya bergaung di Bumi Perkemahan Sendang, lereng Wilis Tulungangung, 14 Oktober 2023. Angin Gunung terasa dingin, mirip-mirip udara Bandung dimana tokoh ini tinggal dan wafat di tahun 1995. Puluhan mahasiswa PC PMII Tulungangung (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia-PMII) seolah merasakan kehadiran bapak ideologis mereka, sang Pendekar Pena dan juga ketua PMII pertama di zona ini. Kalimat akhir puisinya seakan menjawab: Ya Bung, kamu kami kenang!
H. Khoiruddin Abbas, S,Ag.,M.Si., ketua PC IKAPMII Tulungagung diberi kelonggaran waktu untuk berbicara ikhwal Mahbub kepada adik-adiknya. Baginya, Mahbub adalah sosok inspiratif dan layak mejadi role model sahabat-sahabati (sebutan khas life members PMII-red). Paparannya yang mengalir dan terasa intim dicermati adik-adik mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi itu. Makin seru, layaknya seorang kakak, pria yang akrab disapa Cak Din ini menggelar games dadakan berhadiah uang tunai. “Ayo siapa yang tahu anaknya Mahbub yang hadir kali ini? Nama lengkapnya lo..” Sontak tiga mahasiswa merangsek maju;”Isfandiari Cak!” Yes, mereka lantas kegirangan mendapatkan uang kontan. Sebuah suasana yang ‘mahal’ untuk dilewatkan dalam ajang yang mereka beri nama MAHBUB DJUNADI FESTIVAL 2023.
Yang disebut terakhir itu memang sengaja diundang panitia jauh-jauh dari tempat mukimnya, Tangerang Banten. Mereka penasaran, bagaimana daily activity di Bung di mata keluarga dekat. Kebetukan, Kang Isfan ini banyak mengalami romantisme pahit-manis kehidupan Mahbub disamping 2 kakaknya yang lain, Mirasari Djunaidi dan Tamara Hanus Djunaidi.”Mohon maaf kakak saya tak bisa hadir ya, next time jika berjodoh pasti ngumpul,” buka Isfan pada panitia pengundangnya. “Di mata keluarga kami menyebutnya Si Bung yang antik! Antik secara pemikiran dan lifestyle. Orangnya memang nyentrik. Sehari-hari pakai singlet putih, roko’an dan terbilang slordeg (Belanda-Red) untuk penampilan yang kurang rapi. Bicara apa adanya, tak pernah membedakan strata orang. Betul kata teman seangkatannya: nada bicara Bung akan sama kepada mentri, orang terpandangn, tokoh dan juga kepada anak umur 5 tahun. Nyalinya susah diukur , berani menentang pemerintahan orde baru yang kuat secara terbuka. Ia juga setia kawan dan konsekwen. Buktinya terang-terangan membela Pramoedya Ananta Toer yang saat itu mejadi public enemy nomor wahid. Belum lagi kritikan-kritikan lainnya perkara masalah sosial, kebijakan pemerintah sampai soal-soal human interest yang enak dinikmati. Orangnya simpel nggak ruwet! Suatu saat dia bilang.” Gampang bedain orang pinter dan tolol…, yang pertama membahas masalah penting dengan cara yang gampang, nah yang kedua kebalikannya..perkara cemen tapi di bahas njelimet. Orang pinter bisa membuat semua paham apa yang dimaksud baik retorika ataupun tulisan. Nah, orang tolol akan banggga jika orang lain nggak ngerti apa yang dia katakan atau tuliskan. Ingat itu!” Kata Mahbub.
Sebagai seorang anak saya pribadi bangga kepada si Bung. Ia ayah yang luar biasa. Sebagai jurnalis lebih lagi. Bukan karena saya anaknya, tapi memang penulis jempolan. Kaya metafora, ringkas, efisien, lucu dan punya kepekaan yang luar biasa. Ia selalu menulis sekali jadi, sambil merokok-ngopi. Pembuka kalimat dalam tulisannya tak terduga, selalu mengagetkan. Ia juga peterjemah yag buruk…buruk sekali. Bukan apa-apa, gaya pengarang aslinya sirna sudah, seolah olah menjadi karya Mahbub. Coba simak terjermahan 100 tokoh yang Berpengaruh dalam Sejarah karangan Michael Hart. Dalam Indonesia, buku itu menjadi Mahbub banget, style penulis Tanah Abang pasar, apa adanya, polos, kocak tanpa harus mengernyitkan jidat. Gampang sekali dicerna.” Jelas Isfan.
Dalam moment seru ini, banyak mahasiswa bertanya romantika kehidupan Mahbub. Ajang ini lebih pada diskusi saja ketimbang tanya jawab. Yang pasti semuanya hadir untuk mengenang Mahbub yang sudah berpulang puluhan tahun silam. Mahasiswa gen-z, tentunya tak sempat bertatap muka. Mereka menjadi mahbubian atas dasar keterangan senior dan buku karangannya. Menjadai sesuatu yang spesial juga bagi semua mahbubian dan keluarga, betapa Mahbub Djunaidi masih dikenang sampai sekarang. “Event ini akan kami buat rutin setahun sekali. Konsepnya bisa berbeda-beda dengan tujuan sama, mengenang sang Pendekar Pena dan terus menghidupkan spirit yang diperjuangkannya. Moga respect dan support dari semua pihak terus ada dan menguat, wish us luck,” haru M. Aris Baiqi, ketua Umum PC PMII Tulungangung. Lereng Gunung Wilis menjadi saksi. Saat menjelang pagi, mereka masuk ke tenda mesing-masing dengan imajinasi yang mungkin hadir ; Jika Mahbub masih ada, apa dia happy dengan PMII yang sekarang?
“ Wallahu alam….
MAHBUB DJUNAIDI FESTIVAL, BUMI PERKEMAHAN SENDANG TULUNGAGUNG-JAWA TIMUR
Penulis : Isfandiari MD