Melanjutkan tulisan beberapa waktu silam, memang acap kali kita kehilangan arah untuk menempatkan sosial media sebagai ruang yang dapat kita genggam, fungsikan dan manfaatkan. Poin inilah yang menjelma diktum Gus Ab dalam pidatonya “Transformasi organisasi yang berfokus pada transformasi teknologi, transformasi kaderisasi dan PMII globalisasi…”, lihat, term transformasi teknologi ditempatkan di awal redaksi, sebuah ujaran proporsional yang perlu kita kaji ulang lebih dalam.
Gus Ab sebagai seorang intelektual yang canggih dan kekinian, meninjau serangkaian problem yang berkarat secarah internal di tubuh PMII, bagaimana tidak? alokasi kader, pembuatan bank data, pemasifan platform digital dan serangkaian problem tersebut masih terjadi. Kegelisahan semacam ini sebenarnya tak hanya dialami oleh Gus Ab semata, melainkan keseluruhan kader PMII yang di benaknya terbesit pikiran “Tidak ada (jaminan) keselamatan intelektual, spiritual dan moral di luar PMII” (motto: Biro Pengembangan Intelektual dan Eksplorasi Teknologi-PC PMII Tulungagung)
PMII dan Beberapa Utopia yang Nyata
Klimaks pidatonya, Gus Ab memang dirasa terlalu utopis, bahkan dia sendiri juga mendaku bahwa orang bilang program ini dianggap utopia belaka. Tapi mari kita ulas secara kritis dan mendetail. Tidak seperti yang kita takutkan, program ini amat efisien dan mudah kok!
Menarasikan PMII di dunia virtual saat ini sebenarnya cuma membutuhkan modal keberanian dan ketekunan (mental istiqomah) seperti yang diajarkan waktu di pondok/madrasah dulu. Mengapa demikian? Logika sosmed memiliki tiga sirkulasi yang jika ditinjau dari porsos ekonomi ya cuma produksi-distribusi dan konsmusi, amat sederhana. Konten itu diciptakan oleh influencer/mereka yang berlaku sebagai pawang citra. Selanjutnya dikonsumsi oleh mata-mata empiris kita, diolah nalar dan bagi mereka yang suka atau tertarik, berkewajiban untuk membagikan ke khalayak umum lebih luas, sebagai wujud apresiasi atau kekaguman.
Lalu pertanyaannya, konten semacam apa yang dianggap pantas untuk diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi? Sebagai insan akademik, mahasiswa haruslah mengarusutamakan sisi edukasi, upgrading nalar, gambaran profesionalitas, pengembangan soft-skill dan bagi saya, yang terpenting adalah nilai-nilai kemanusiaan. Pun tak lupa, ruang kaderisasi virtul digelar guna mengenalkan PMII bagi khalayak mahasiswa baru. Beberapa poin di atas dapat dijadikan manuver sederhana untuk merealisasikan ide-ide Gus Ab yang sedemikian agung tersebut.
Walaupun toh ada seruan tersebut, tanpa adanya penerimaan dan evaluasi dari struktur di bawah PB PMII, program itu hanya akan menjadi omong kosong belaka. Maka, penataan informasi-data secara struktural, koordinasi berlanjut dan penyadaran kolektif yang tak henti-henti perlu diberdaya semasif mungkin. Hubungan konstruktif semacam inilah yang mampu menyelamatkan PMII dalam ke-udik-annya membaca zaman, menyanding peradaban dan berani bersaing di arus digitalisasi yang kian cepat berganti. Maknanya, relasi struktural-kultural dibangun dalam pematangan gagasan, penyadaran dan tindakan. Apalagi di era pandemi ini, fokus pendampingan masyarakat secara edukatif sangatlah penting, demi menata kesadaran umum agar tidak panik dan dibuat takut oleh covid-19
Menutup secuil evaluasi orasi Gus Ab ini, saya sangat ingat dengan apa yang menjadi motto dia “Ketidakmungkinan hanyalah sebuah opini”, saya secara instan langsung teringat dengan kata-kata Jacques Derrida “Mari kita mulai dari yang tidak mungkin”. Karena seperti juga yang dikatakan Martin Heidegger “Apa yang irasional di masa lalu, akan menjadi rasional di waktu-waktu yang lain”, dan inilah saat di mana PMII dipertanyakan perannya, kontestasinya dan pengaruhnya membentuk masyarakat yang berkesadaran hingga mampu menghapus kata “kalah-tumbang” di kamus dunia!
Khayangan Dewata Sunyaruri (Lantai III-Cabang PMII Tulungagung), 26 Juli 2021.
Penulis: Sabilillah