
Oleh Moch. Adib Irham Ali (PMII Surakarta)
“Kaum milenial bukan generasi yang malu-malu, bukan penurut, dan tak punya sikap. Dalam politik, generasi milenial sudah punya sikap yang tegas, dan tak sungkan menyuarakan sikap politik mereka……”. Itu mungkin secuil kalimat yang akan saya utarakan untuk menggambarkan pola gerakan yang semestinya kaum milenial bersikap.
Kalimat tersebut saya ungkapkan karena merujuk pada fenomena-fenomena yang sudah ada macam yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris, di Amerika Serikat misalnya, era generasi milenial beramai-ramai menunjukkan sikap mendukung Barnie Sanders sebagai calon yang harus diusung oleh Partai politik Demokrat. Walaupun para elit partai Demokrat akhirnya lebih memilih Hillary Clinton sebagai calon presiden yang bertarung bersama Donald Trump pada PEMILU Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Selanjuntya di Inggris, para generasi milenial beramai-ramai mengambil sikap agar Inggris tidak keluar dari Uni Eropa meskipun banyak elit partai yang tidak menginginkannya..
Dari contoh di atas saya ingin memberikan contoh bahwasanya generasi milenial seharusnya memiliki sikap politik yang dinamis dan peduli. Walaupun terkadang dalam hal ini, kebanyakan sikap politik mereka cenderung berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya. Tapi tidak mengapa, dikarenakan memang generasi pendahulu dan pola berpikir generasi muda juga pastinya berbeda. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa masih menyisakan pola pikir konservatisme pada kalangan generasi muda.
Pada PEMILU raya kali ini yang akan dilaksanakan serentak pada 17 April mendatang suara-suara kaum milenial juga diperebutkan. Sebenarnya terdapat 3 isu utama yang bisa saja berguna untuk mendongkrak suara calon pemimpin bangs. Isu-isu utama tersebut diantara lain; Populisme Agama, Isu Sosial Ekonomi, dan Suara kaum milenial. Pertarungan perebutan suara kaum milenial ditambah dengan fakta bahwa, Indonesia memasuki masa bonus demografi. Menurut survey AvaraResearch pada 2016, penduduk usia 15-34 tahun mencpai 34,45 persen dari total popuasi dan akan terus bertambah dalam tahun-tahun mendatang. Data ini juga diakui oleh Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki 125,44 juta angkatan kerja produktif.
Besarnya angka demografi tersebut menunjukkan posisi generasi milenial sebenarnya bisa sebagai suatu kekuatan central dalam konteks perpolitikan mendatang (17 April 2019), terutama dalam kontestasi pemilihan umum. Apabila disandingkan dengan pilres 2014, jumlah ini hampir mendekati jumlah suara sah, yaitu pada PEMILU 2014 mencapai 133 juta suara. Ditambah sebagai catatan, hitungan Badan Pusat Statistik tersebut (125,44 juta) belum termasuk jumlah pemiih pemula pada PEMILU 2019 kali ini.
Dari data yang ada, maka tak berlebihan menyatakan bahwa barang siapa berhasil menguasai preferensi generasi milenial pada hari ini maka berpeluang besar akan dapat memenangan PEMILU tahun ini. Kemunculan generasi milenial atau generasi dengan usia produktif sebagai kekuatan politik melebihi analisis bahwa kekuatan Indonesia hanya terdiri dari rezim yang sedang berkuasa, militer, dan kelompok Islamis. Perbedaan paling kentara antara kelompok rezim yang sedang berkuasa, militer, dan Islamis dengan para generasi milenial adalah secara politik. Kelompok rezim, militer, dan Islamis pada level tertentu sudah terkonsolidasi. Dan mereka memiliki sistem yang mapan serta kepentingan yang tinggi yang justru kadang sistem partai pun diabaikan. Sebaiknya, generasi milenial bukan merupakan kelompok politik yang terkonsolidasi secara matang atau dengan kata lain bahwa generasi milenial bukanlah kelompok yang mengonsolidasikan dirinya secara sengaja berbasis kesadaran atas preferensi politik tertentu terutama sebagai gerakan politik yang membawa nafas baru.
Dengan melihat anak muda dari perspektif kekinian, maka wacana bahwa anak muda perlu terlibat dalam aktifitas politik adalah bukan lagi dengan hanya menjadi pemilih. Melainkan, anak muda di sini perlu menjadi penentu kebijakan itu sendiri seperti yang dulu dilakukan oleh Sukarno, Tan Malaka, Njoto, atau bahkan Che Guevara ketika masih muda. Sebab, sudah jelas tidak mungkin kita dapat berharap pada pemimpin berpikiran konservatif yang nyatanya menciptakan kondisi yang kembali lagi masih menunjukkan penghambaan kepada kaum elitarian. Apa yang perlu dilakukan anak muda saat ini adalah terlibat dalam pembangunan partai politik itu sendiri (partai politik alternatif).
Narasi-narasi untuk mengembangkan partai politik alternatif mungkin memang harus segera digaungkan. Melihat kondisi Indonesia saat ini, ranah politik Indonesia masih didominasi oleh kepentingan-kepentingan oligarkis. Fenomena ini semakin mengemuka terutama di tengah ekspansi neoliberalisme yang begitu masif di negeri ini. Akibatnya, kepentingan rakyat semakin termarginalkan. Berbagai permasalahan yang menyangkut hajat hidup rakyat mulai dari kasus agraria yang seolah masih membudaya, kerusakan ekologis, berkurangnya ruang publik di perkotaan, diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dan masyarakat adat, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), hingga represivitas aparat negara terus merebak hingga sekarang.
Diperparah dengan ironi bahwa, kancah politik elektoral masih didominasi oleh partai-partai perwakilan borjuis yang sebagian besar aktornya adalah elit-elit politik lama. Partai-partai borjuis ini, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, justru semakin menancapkan pengaruh dan memajukan kepentingan mereka dalam saluran-saluran politik yang ada. Terutama dengan membuat sistem kepartaian Indonesia semakin terkartelisasi, memperkecil ruang bagi gerakan-gerakan sosial untuk memperjuangkan kepentingannya via pemilihan umum (PEMILU). Dengan kondisi seperti itu, kontestasi politik dalam demokrasi Indonesia lebih mirip pertandingan antara individu dan figur ketimbang pertandingan antara agenda atau program yang ideologis, koheren, jelas, dan bertolak-belakang. Sementara partai politik alternatif masih belum terkonsolidasi & menjadi kekuatan yang diperhitungkan.
Generasi milenial sebagai generasi yang diperhitungkan pada PEMILU kali ini tentunya harus menjadi cerdas. Generasi milenial harus membawa nafas-nafas harapan dalam konsep dasar partai poitik alternatif ini. generasi Mienial sekarang haruslah berani membangun kekuatan politiknya secara mandiri dan masif, yaitu sebagai kekuatan alternatif dalam pandangan masyarakat umum. Istilah membangun kekuatan politik alternatif sebenarnya bisa dikatakan hanya penyebutan lain dalam identifikasi pilihan politik pada situasi politik transaksional dewasa ini, dimana kekuatan politik yang ada hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan kaum kapitalis, sebuah kekuasaan politik yang dipimpin dan diatur oleh kekuatan modal. Tidak mengherankan jika sekalipun mereka satu kubu, namun sesungguhnya mereka tetap saling menjegal satu sama lain.
Partai politik alternatif generasi milenial haruslah tetap berkiblat kepada nilai-nilai kedaulatan rakyat, dan keadilan karena itu semua merupakan mata rantai menuju kesejahteraan yang kita dan semua rakyat inginkan, sebab generasi milenial pun adalah bagian dari rakyat. Maka kita harus senantiasa berada dalam perjuangan rakyat, di tengah-tengah masa, membangun kesadaran, dan organisasi yang terorganisir, terdidik, dan terpimpin. Maka generasi milenial harus bekerja keras dalam kerja-kerja organisasi dan setia pada jalan perlawanan rakyat itu sendiri.
Prasyarat bagi gennerasi milenial untuk sampai pada posisi di atas adalah dengan melepaskan atribut agent of change yang dilekatkan padanya. Konstruksi generasi milenial yang selama ini seringkali dengan penuh over-glorifikasi dan romantisme perlu dibongkar dengan melihat bahwa pada nyatanya, generasi milenial adalah bagian dari kelas yang dimarjinalkan itu sendiri. Dengan demikian, alih-alih memposisikan diri sebagai moral force (kekuatan moral), generasi milenial perlu memposisikan dirinya sebagai political force (berpengaruh terhadap lembaga politik dan hukum terhadap manusia dan organisasi). Inilah yang menjadi raison d’etre (alasan untuk menjadi satu bangsa) reorientasi gerakan anak muda.