oleh : Fikri Imanullah S.E
Kader PMII TULUNGAGUNG, Mahasiswa Pascasarjana UINSUKA YOGYAKARTA peduli budaya & Wisata sekaligus pemerhati pemerintah

Hari jadi, merupakan bentuk sisi lain dari peringatan kelahiran, hakikatnya adalah menambah angka umur dan banyak pelajaran dari pengalaman yang sudah terjadi. Berbagai refleksi diri suatu pemerintahan, terletak semakin bertambahnya angka umurnya. Begitu pula dengan sikap kearifan di segala lini pimpinan pemerintahan, memiliki kesadaran global terkait maju mundurnya ruang gerak pembangunan keharmonisan daerah yang dipimpin seperti lambang Surya majapahit
Maknanya: Menggambarkan keterikatan Bumi Tulungagung dengan kerajaan Majapahit dengan bukti keberadaan Candi Dadi bersudut Sembilan dan tanpa tangga. Penjabaran Lambang Surya Majapahit ( Batara Nawa Sanga atau Dewa penjaga Sembilan penjuru arah mata angin ). Saya mengucapkan SELAMAT HARI JADI TULUNGAGUNG KE 818.

Kembali kepada ingatan masa lampau, bahwasanya Tulungagung yang kita kenal saat ini memiliki rekam jejak sejarah lokal yang patut untuk diketahui, terutama dalam bentuk pemerintahannya. Selama kajian yang dilakukan, pemerintahan yang terdapat di Tulungagung yang pernah ada adalah; Katumenggungan Wajak, Kadipaten Ngrowo di Kalangbret (di sebelah barat Sungai Ngrowo), Kadipaten Ngrowo di Tulungagung (di sebelah timur Sungai Ngrowo), dan kemudian menjadi Kabupaten Tulungagung saat ini.

Belum lagi peradaban Homo Wajakensis yang mendunia itu. Perlunya kita evaluasi kinerja pemerintah supaya melakukan riset dan penelitian kembali agar Nama Tulungagung yang mendunia itu kembali bergaung seperti makna Batik kawung yang menggambarkan unsur kiblat papat limo pancer atau sangkan paraning dumadi. Penggambaran kekuatan empat penjuru dengan kekuatan utama ditengah.
Di Tulungagung motif batik kawung terdapat di Candi Gayatri Boyolangu. Direliefkan pada Patung gayatri dengan maksud sebagai penghormatan tertinggi kepada beliau karena keluhuran dan telah mencapai kesempurnaan hidup.

Di hari jadi yang ke 818 pada tahun 2023 ini SEMOGA MEMILIKI PELAJARAN DARI PERISTIWA SEJARAH DI MASA LALU untuk membangun kota dan daerah Tulungagung yang lebih baik sesuai makna yin-yang yakni Warna hitam dan putih: Hitam dan putih atau Rwa Bhineda. Rwa artinya dua, Bhineda artinya berbeda. Artinya sebagai dua hal berbeda dalam kehidupan yang selalu menjadi satu dan tak terpisahkan satu sama lain.

Masyarakat Tulungagung pastinya berharap untuk perbaikan pemerintahan seperti hilangkan mafia birokrasi, Hilangkan rasa haus kekuasaan sehingga menghalalkan segala cara untuk merebut dan memenangkan suatu kekuasaan. Didiklah mental pegawai maupun ASN agar tidak melakukan kesalahan berulang kali maupun melakukan tindakan mengarah kepada dugaan Korupsi, Kolusi dan nepotisme. Tulungagung sedang tidak baik-baik saja dan perlu revolusi mental.

Oh iya, Tulungagung dengan ragam etnis dan budayanya memiliki keharmonisan hidup. Menjaga kestabilan tersebut membutuhkan orang-orang kuat dalam bidangnya. Keharmonisan tersebut jangan sampai pudar, atau musnah, namun yang ada adalah semakin perkuat dan penyetabilan kehidupan masyarakat.

Mengutip falsafah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa perlunya kita bersatu untuk membangun Tulungagung yang Ayem, Tentrem, Mulyo, lan Ditoto. Eh itu konsep yang masyarakat Tulungagung pahami loh ya…

Selain itu berpegang kepada Pancasila agar setiap sila yang ada bisa menjadi dasar masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Mulai dari sila yang mengandung nilai religius, kemanusiaan saling tolong menolong, persatuan yang merekatkan, sampai berupaya untuk mewujudkan keadilan sosial.

Khasanah kedaerahan Tulungagung memang patut diperhitungkan skala makro, baik dalam bidang sejarah, ekonomi, agama, dan politik. Meskipun Tulungagung kotanya kecil, namun memiliki karakter kuat dalam perubahan pembangunan menuju tatanan yang baik.

Kondisi Tulungagung hari ini sangat menentukan negara Indonesia kedepannya. Terutama perlu adanya wadah penyelamatan generasi muda melalui Aksara jawa. Aksara jawa Menggambarkan hubungan sejarah Kabupaten tulungagung dengan Kerajaan Mataram Islam dengan situs Makam Kuno Katumenggungan Surontani di Desa Wajak Kidul dan Desa Tanggung serta Makam makam lain yang hampir kesemuanya berhubungan dengan Kerajaan Mataram Islam.

Sebagai mahasiswa dan putra daerah Tulungagung, saya pribadi berharap, semua program Pemkab Tulungagung khususnya program kemasyarakatan bisa memberikan manfaat yang luas dan dapat berjalan berkelanjutan menjadi penjaga pintu masuk sebuah tempat terindah dan terbaik seperti makna Dwarapala atau Retjo Pentung: Dwarapala merupakan gabungan dari dua suku kata yaitu dwara (Dvāra) yang berarti pintu dan pala (Pāla) yang berarti penjaga. Jadi Dwarapala berarti penjaga pintu masuk

Penempatan patung drawapala di empat penjuru pintu masuk Kota Tulungagung dimaksudkan sebagai penanda memasuki kawasan yang sakral atau kawasan dengan peradaban yang sangat tua yang wajib dijaga dan dihormati . Di Tulungagung temuan terbanyak dan tersimpan di Museum adalah Patung Drawapala.

Dalam menjaga konsistensi keberlangsungan kegiatan, harus menjadi tanggung jawab dari para pemangku kebijakan termasuk membuat instruksi terkait keberlanjutan kegiatan. Artinya, para pemangku kebijakan dan publik figur harus ikut bertanggungjawab dalam menjaga keberlangsungan kegiatan, tidak hanya muncul ketika dibutuhkan.
Sebab, keberlanjutan itulah yang menjadi point penting dari semua program kegiatan sehingga tidak hanya muncul saat dibutuhkan saja atau dalam bahasa Jawa “rog-rog asem”.

Saya pribadi berharap tahun depan ada yang spesial, jika sebelumnya hanya ada dua tumpeng agung berupa buceng lanang dan buceng wadon, semoga kedepannya ada tambahan 817 tumpeng kecil, sehingga jumlahnya genap 819 tumpeng, sesuai tanggal hari jadi tahun depan di tahun 2024. Tumpeng ini akan di bagikan kepada masyarakat yang hadir di pendapa. Kira-kira begitu,

Bayangan kami prosesi hari jadi diawali dengan kirab pusaka kabupaten, mulai dari Desa-desa se Kabupaten Tulungagung hingga menuju Alun-alun Tulungagung, yang dipimpin langsung Bupati Tulungagung saat itu. Selanjutnya pusaka dikirab mengelilingi alun-alun, bersama iring-iringan puluhan foto bupati dan wakil bupati yang pernah memimpin Tulungagung, air suci serta tumpeng agung baik buceng lanang dan buceng wadon.

Dan semua masyarakat menggunakan Udeng atau iket kepala motif khas Tulungagung ketika dikenakan adalah wujud bhakti atau menjaga Tulungagung ( drawapala ) penghormatan tertinggi ( dipakai dikepala ), mengikat angan angan atau nafsu serta memahami ( mudeng atau mengerti ) jika berada di daerah yang luhur, suci atau daerah dengan yang peradaban tinggi.

Sehingga masyarakat merasa memiliki/handarbeni dan merayakan hari jadi kota Tulungagung sesuai adat istiadat masing-masing. Berharap hari jadi Tulungagung bukan miliknya pemerintah daerah saja maupun pejabat tinggi nya saja, hari jadi kota Tulungagung adalah milik semua penduduk dan masyarakat asli kelahiran Tulungagung, sesuai semboyan ciptaan pendahulu kita TOELOENGAGOENG, BUMI AGOENG WASKITHA MUKTI

*Bumi agung waskitha mukti adalah : Bumi dengan peradabannya yang sangat tua sangat sakral, banyak tempat pertapaan, pusat pendidikan, pembelajaran, sering dikunjungi Raja, Pemimpin atau ksatria dalam upaya mencari ilmu, meminta nasehat – menempa diri dalam upaya mencari kesempurnaan atau kemuliaan hidup.